Sejarah Kemelut Di Majapahit
Kelompok 5
1. Afifah Aulia Khoirunisa
2. Fahmi Anshori
3. Nur Azizah Lubis
4. Sri Rahayu
5. Zahara Azhari
Kelas XII IPS 1
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
1. Afifah Aulia Khoirunisa
2. Fahmi Anshori
3. Nur Azizah Lubis
4. Sri Rahayu
5. Zahara Azhari
Kelas XII IPS 1
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kemelut Di Majapahit
"Ibunda,
haruskah kita meninggalkan semua ini dan pergi melarikan diri? Apakah tidak ada
jalan lain, ibu...?" dara yang sedang remaja itu dengan suara nelangsa
berkali-kali bertanya kepada ibunda.
"Ibu,
kenapa kita tiba-tiba menjadi penakut-penakut seperti ini? Kalau ada
bahaya mengancam, apakah kita tidak
mendapat perlindungan dari Gusti Adipati Ronggo
Lawe yang terkenal bijaksana itu?" Adik dara itu, seorang anak
laki-laki yang usianya kurang lebih
sepuluh tahun, bertanya dengan dada dibusungkan.
"Dan
tidakkah kita seharusnya membela diri dengan gagah perkasa seperti mendiang
ayah?"
Ibu
mereka yang sedang mengajak kedua orang anaknya itu berkemas, menarik napas
panjang, lalu memberi isyarat kepada dua orang anaknya untuk mengikutinya masuk
ke dalam bilik, di mana dia lalu duduk di atas pembaringan dan dua orang
anaknya itu berlutut di atas lantai depan ibu mereka yang kelihatan gelisah dan
bersungguh-sunguh
sehingga mereka berdua ikut menjadi khawatir.
Ibu
itu berusia kurang dari empat puluh tahun, masih cantik sekali biar pun
pakaiannya sederhana saja. Kulitnya kuning langsat dan wajahnya masih kelihatan
segar dan belum ada keriput merusak kulit mukanya. Dia kelihatan gelisah dan
pandang matanya seperti mata seekor kelinci ketakutan, sering kali memandang ke
arah pintu kamar itu seolah-olah setiap saat akan muncul mara bahaya dari pintu
itu. Kalau dia memandang kedua orang
anaknya, alisnya berkerut karena sesungguhnya mereka gelisah, terutama kalau
dia melihat anak perempuannya. Janda Galuhsari merasa dadanya seperti ditusuk.
Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi dia khawatir sekali
kalau-kalau malapetaka menimpa kedua orang anaknya.
Lestari,
dara remaja itu, memandang kepada ibunya dengan wajah agak pucat. Pekerjaan
berkemas tadi, yang dilakukan dengan pengerahan sedikit tenaga, membuat
rambutnya yang ikal mayang agak kusut dan beberapa ikal rambut di dahi
berjuntai dan melingkar ke bawah, juga di depan kedua pelipisnya. Beberapa kali
jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu menyibakkan anak rambut yang
menggelitik, akan tetapi anak-anak rambut yang nakal itu terjuntai kembali ke
atas dahi dan pipinya yang berkulit halus dan tipis. Sepasang matanya jeli
bersinar-sinar seperti bintang senja, dihias bulu mata yang panjang lentik dan
lebat sehingga membentuk garis menghitam di sekeliling matanya, dilindungi oleh
sepasang alis yang kecil panjang hitam melengkung seperti dilukis. Hidungnya
kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan mudah tergetar, serasi sekali dengan
sebuah mulut yang memiliki daya tarik paling kuat. Mulut yang manis dan indah,
dengan bibir yang penuh dan tiipis, merah basah seperti buah tomat matang yang
membuat orang ingin sekali mengigitnya. Di balik sepasang bibir yang agak
terbuka ketika dia memandang ibunya itu mengintai deretan gigi putih mengkilap,
rata dan menjadi lebih indah karena dipangur (dipasah) dan samar-samar nampak
ujung lidah merah kecil menempel di antara dua deretan gigi yang agak terbuka.
Sukarlah melukiskan keindahan dara remaja ini, cantik jelita dan seperti
setangkai bunga yang sedang mekar, harum semerbak mengandung sari madu
berlimpah-limpah dalam usianya yang lima belas tahun itu.
Sutejo,
adiknya yang baru berusia sepuluh tahun, telah membayangkan sikap gagah seorang
kesatria. Tarikan dagunya yang meruncing, mulut yang tidak cengeng, sepasang
mata yang bersinar-sinar penuh keberanian, serupa benar dengan mendiang
ayahnya, seorang perwira yang digdaya dan perkasa, Lembu Tirta yang terkenal
sebagai seorang di antara benteng-benteng Mojopahit, yang membantu perjuangan
Raden Wijaya yang kini telah menjadi Raja Mojopahit pertama bergelar Sang Prabu
Kertarajasa Jayawardana. Anak laki-laki ini baru berusia tiga tahun ketika
ayahnya gugur di medan perang, akan tetapi karena seringnya dia mendengar
penuturan ibunya tentang kegagahan ayahnya itu sehingga kini melihat ibunya
ketakutan dan hendak melarikan diri, dia merasa penasaran sekali.
Sambil
membelai rambut puterinya dan merangkul leher puteranya, janda Galuhsari
berkata lirih,
“Tari,
tidak perlu engkau menyayangkan semua harta milik kita yang tidak berapa banyak
ini. Apakah artinya harta kalau jiwa raga kita terancam bahaya? Yang terpenting
adalah menyelamatkan jiwa raga yang sekali hilang tak dapat kita cari lagi,
sebaliknya, harta benda dapat dicari setiap saat, anakku. Dan kau, Tejo, jangan
salah mengerti. Kita bukanlah penakut, ibumu tidak sudi mencemarkan nama besar
ayahmu dengan menjadi penakut. Juga kita boleh percaya akan kebijaksanaan dan
keadilan Sang Adipati Tronggo Lawe. Akan tetapi…..bahaya yang mengancam kita
kiranya tidak akan dapat ditolong oleh sang adipati.“
Janda
yang masih nampak muda dan cantik itu kembali memandang ke pintu dengan
gelisah.
“Kita
harus melarikan diri malam nanti, tidak boleh ditunda-tunda lagi…..“
“Akan
tetapi mengapakah, ibu? Bahaya apakah yang mengancam kita?“ Lestari bertanya,
kini mulai ikut gelisah dan juga memandang ke pintu.
“Ibu,
siapa yang akan berani menganggu kita, keluarga mendiang Lembu Tirta?“ Sutejo
berkata sambil mengepal tinjunya yang kecil.
“Tidak
perlu kalian tahu akan hal itu, anak-anakku. Yang penting kalian ketahui adalah
bahwa terdengar olehku adanya berita angin bahwa Kadipaten Tuban nampaknya
bersiap-siap hendak memberontak Mojopahit. Dan aku tahu benar bahwa kekalutan
ini tentu akan dipergunakan kesempatan baik oleh musuh besar kita.“
“Siapa
dia, ibu?“ Lestari dan Sutejo bertanya hampir berbareng.
“Dia…..
Progodigdoyo…..“
“Sang
panewu…..?“ Lestari bertanya dengan matanya yang lebar jeli itu terbelalak.
“Kenapa
dia musuh besar kita, ibu?“ Sutejo juga bertanya.
“Sebelum
kita menghadapi bahaya, sebaiknya kalau kuceritakan kepada kalian, anak-anakku.
Siapa tahu ……, segera terjadi perang dan mungkin kita akan cerai-berai ….“
“Ah,
ibu……!“ Lestari ngeri membayangkan kemungkinan itu. Akan tetapi adiknya hanya
memandang kepada ibu mereka, sinar matanya tajam menuntut penjelasan.
“Kalian
tentu tahu bahwa Panewu Progodigdoyo masih terhitung sanak dengan sang adipati,
karena dia adalah keponakan dari ibu Gusti Adipati Ronggo Lawe. Karena itu,
kekuasaannya tinggi, apalagi dia diangkat sebagai penewu yang mengepalai
pasukan besar. Sebaliknya, ibumu hanya seorang janda, dan kita tidak dapat
berbuat sesuatu. Memusuhi dia sama artinya seperti ketimun melawan duren, akan
hancur sendiri kita.“
“Ibu,
ceritakan apa yang terjadi dan apa yang dilakukan oleh Panewu Progodigdoyo!“
Sutejo menuntut, suaranya penuh desakan dan penasaran.
“Semenjak
belasan tahun yang lalu, Perwira Lembu Tirta, mendiang ayah kalian, dan Perwira Progodigdoyo di samping
perwira-perwira lain termasuk Gusti Adipati Tuban, adalah pembantu-pembantu Gusti Prabu
Kertarajasa Jayawardhana yang dahulu
masih
bernama Raden Wijaya. Mereka semua berjuang bahu membahu sebagai rekan-rekan
yang saling setia. Akan tetapi, sejak…..mendiang ayah kalian menikah dengan
ibumu...terjadi keretakan antara ayah kalian dengan Progodigdoyo...“
“Kenapa,
ibu?“ Lestari bertanya ketika mendengar suara ibunya terputus-putus.
“Ahhhh…..,ibumu
yang menjadi sebab anak-anakku. Progodigdoyo mencinta ibumu, akan tetapi aku
memilih Perwira Lembu Tirta.“
Lestari
dan Suteja saling pandang, kemudian mereka memandang lagi kepada ini mereka,
janda Galuhsari yang menarik napas panjang.
“Kemudian
delapan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan, ketika mendiang ayah kalian
dan Progodigdoyo sedang bertempur melawan musuh bahu membahu, tiba-tiba dari
samping Progodigdoyo bertindak curang dan khianat, ayahmu diserang dengan keris
dan ditusuk lambungnya sehingga roboh“
“Ihhh…..!“
Lestari menjerit dan terisak.
“Si
keparat Progodigdoyo!!“ Sutejo mengepal tinju dan sepasang matanya yang amat
tajam itu bersinar-sinar.
“Sstttt….,
jangan berteriak seperti itu, tejo. Sudah kukatakan, kita tidak berdaya dan
rasa penasaran ini harus kita kubur saja di hati.“
Hening
sejenak di balik itu. Sutejo masih berdiri mengepal tinju, Lestari masih
terisak dan memeluk paha ibunya, sedangkan janda galuhsari duduk termenung
memandang kosong ke depan.
"Bagaimana
ibu bisa tahu apa yang terjadi di medan perang itu?" Tiba-tiba Sutejo
bertanya, pertanyaan yang menunjukkan kecerdikan seorang anak berusia sepuluh
tahun.
“Ayahmu
yang tersangka telah tewas oleh Progodigdoyo itu ternyata masih kuat untuk
merangkak pulang dan dia mati di dalam pelukanku, masih kuat menceritakan
pengkhianatan Progodigdoyo.“
“Kenapa
ibu tidak melaporkan kepada gusti adipati, atau kepada sang prabu?“ Lestari
berkata penuh penasaran.
“Hemm,
siapa yang akan percaya, anakku? Aku mengkhawatirkan keadaan kalian berdua yang
masih kecil, maka aku diam saja, pura-pura tidak tahu karena kalau aku
memusuhinya, kita semua akan celaka. Apa lagi karena Progodigdoyo adalah
saudara sepupu Gusti Adipati Ronggo Lawe.“
“Ibu
penakut!“ Tiba-tiba Sutejo berteriak, mukanya merah dan matanya melotot
memandang ibunya.
Janda
Galuhsari terkejut dan menangis.
“Kalian
tidak tahu…..betapa hebat aku menderita…..betapa Progodigdoyo selama ini
berusaha untuk membujukku, untuk mengambil aku sebagai selir, dengan
janji-janji muluk namun aku….. aku selalu menolak dan memperahankan
diri…..tanpa berani menyebut-nyebut peristiwa itu…..dia sudah mengancam akan
tetapi agaknya belum memperoleh kesempatan baik. Sekarang…..ada berniat bahwa
Tuban akan memberontak terhadap Mojopahit, hal ini berbahaya sekali, tentu dia
akan mempergunakan kesempatan selagi keadaan kalut untuk melaksanakan
ancamannya, yaitu memaksaku. Maka lebih dulu kita harus menyingkir, minggat ke
daerah Mojopahit…..“
Sejenak
suasana hening sekali, yang terdengar hanya langkah-langkah halus janda
Galuhsari yang mulai menyalakan lampu-lampu karena cuaca mulai gelap. Kemudian
janda cantik itu duduk lagi dan merangkul Sutejo yang kelihatan masih marah,
mencium dahi puteraanya itu.
“Tejo
ibumu bersabar dan menahan segala derita demi untuk keselamatan engkau dan
mbakyumu. Kalau tidak ada kalian, apakah kau kira ibu masih suka hidup
menderita seperti ini? Lebih baik menyusui ayah kalian.“
“Ibu….!“
Tejo dan Lestari berteriak dan merangkul ibu mereka. Bertangisanlah tiga orang
itu dan akhirnya janda Galuhsari dapat menenangkan mereka.
“Aku
menjadi isteri ayah kalian karena kami saling mencinta, dan dengan cinta kasih
segala apa pun dapat diatasi dan dihadapi, anak-anakku. Selain itu, ibu masih
teringat akan wejangan-wejangan mendiang kakek kalian, yaitu ayahku yang
menjadi
pertapa, oleh karena itu, aku tidak menaruh dendam kepada Progodigdoyo. Dendam
menimbulkan kebencian bersemi di dalam hati, maka hidup akan merupakan
penderitaan karena kita tidak akan dapat mengenal cinta kasih.“
“Apa
maksudmu, ibu?“ Lestari bertanya.
“Mengapa
kita tidak boleh membenci? Tentu saja kita membenci orang yang jahat kepada
kita dan mencinta orang yang baik kepada kita, ibu.“
Kembali
janda Galuhsari menarik napas panjang.
“Kelak
kalian akan mengetahui sendiri, anak-anakku, akan tetapi selagi masih ada
waktu, biarlah kalian mendengar wejangan mendiang kakekmu tentang cinta kasih
murni.“
Maka
terdengarlah nyanyian yang lirih namun merdu dari mulut yang menyanyikan
tembang Sinom. Kesunyian malam itu dipecahkan suara lembut yang menggetar penuh
penasaran dan yang menyusup ke dalam kalbu dua orang anak yang mendengarkan
dengan hati terharu itu.
“Cinta
kasih tidak akan dapat terujud apabila lima macam penonjolan diri ini berkuasa
:
Loba,
ialah ketamakan, Selalu merasa kurang, Moha, gila hormat, selalu Merasa benar
sendiri, Murka, Mudah marah dan banyak Membenci, Himsa, suka menyiksa dan
membunuh, Matsarya, iri hati dan suka mencela Orang lain. Betapa indah dan
agungnya cinta kasih, tanpa cinta kasih, hidup menjadi kering dan gersang!“
Suasana
menjadi sunyi hening ketika tembang itu habis dinyanyikan, akan tetapi hanya
sebentar saja karena segera terdengar suara kasar dari luar pintu,
“Ha,
ha, ha, betapa tepatnya nyanyianmu itu, Galuhsari! Agaknya engkau sengaja
menyambutku dengan nyanyian itu, ha-ha-ha!“
Janda
yang cantik itu menahan jeritnya dengan punggung tangan kanannya, sedangkan
Lestari memeluk pinggang ibunya dengan muka ketakutan ketika ibunya bangun
berdiri dari tempat tidur. Sutejo membalikkan tubuhnya dan dengan kedua tangan
terkepal dia memandang laki-laki tinggi besar berkumis panjang melintang yang
telah berdiri di ambang pintu. Seorang laki-laki yang sikapnya gagah dan kasar,
selain tubuhnya tinggi besar dan kumisnya panjang melintang di atas mulut
seperti kumis Gatotkaca, juga pakaiannya sebagai seorang panewu itu membuatnya
kelihatan rapi dan gagah. Seorang bangsawan yang berwibawa. Hidungnya besar
membengol, ciri seorang laki-laki yang di kuasai hawa nafsu birahi yang besar
dan
matanya lebar tak megenal takut. Inilah Panewu Progodigdoyo yang sejak muda
menjadi seorang prajurit yang pilihannya, gagah perkasa dan sakti, masih
saudara sepupu, juga kepercayaan Adipati Ronggo Lawe di Tuban.
Melihat
munculnya panewu yang baru saja mejadi bahan percakapannya dengan kedua orang
anaknya, muka janda Galuhsari menjadi pucat sekali. Tak disangkanya bahwa musuh
besar itu akan secepat itu muncul di dusun Kembangsari, yaitu tempat tinggalnya
yang berada di sebelah selatan Tuban, akan tetapi masih termasuk Kadipaten
Tuban. Dusun ini adalah dusun kampung halaman mendiang suaminya, sebuah dusun
yang kecil saja namun karena berada di lereng pengunungan.
“Ha-ha-ha,
engkau makin cantik saja Galuhsari. Dan tembangmu tadi memang tepat. Hidupku
kering dan gersang karena rinduku kepadamu. Galuhsari, setelah menanti selama
delapan tahun, untuk yang terakhir kalinya aku datang sendiri meminangmu,
manis! Lihat, tidak kasihankah engkau kepada puterimu yang sudah remaja ini,
cantik jelita seperti ibunya. Dan lihat, puteramu yang masih kecil ini begitu
gagah, mengingatkan aku kepada ayahnya, yaitu kakang Lembu Tirta. Mari engkau
ikut dengan aku ke kadipaten dan anak-anakmu akan menjadi anak-anakku, terhormat
dan hidup mulia.”
“Tidak
sudi aku!!” Bentakan nyaring ini keluar dari mulut Sutejo yang berdiri tegak
memandang Panewu Progodigdoyo tanpa rasa takut sedikit pun.
“Engkau
mendengar itu, Progodigdoyo? itulah suara mendiang kakangmas Lembu Tirta melalui
mulut anak kami, dan juga menjadi suara hatiku. Engkau tahu bahwa aku tidak mau
menikah dengan siapa pun, maka tiggalkanlah kami, Progodigdoyo,
biarkan
aku menjanda selama hidup mendidik sendiri anak-anakku.”
Tanpa
diundang, Progodigdoyo lalu duduk di atas kursi di bilik itu, dan memandang
kepada ibu dan dua orang anaknya yang kini duduk di atas pembaringan. Matanya
sejak tadi memandang dan menjelajahi wajah dan bentuk tubuh janda itu,
kadang-kadang menelan ludah dan kalamenjing di keringkongannya bergerak-gerak
kalau matanya tiba di bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahinya, sinar
matanya seperti membelai dan mengelus-elus tubuh janda itu,
“Galuhsari,
kenapa sampai sekarang engkau masih bersikeras dan tega sekali engkau merusak
hatiku? Aku kesepian, Galuh, aku rindu padamu ..”
“Jangan
berkata begitu, Panewu Progodigdoyo, bukankah di rumahmu telah ada isterimu dan
para selirmu?”
“Ha-ha-ha,
mereka itu kelihatan seperti sampah di waktu aku memandangmu. Kecantikan mereka
dibandingkan dengan engkau seperti bintang-bintang berjajar bulan purnama!
Ingat, Galuhsari, aku cinta padamu, aku kasihan kepadamu dan sudah sepatutnya
kalau aku yang melindungi janda kakang Lembu Tirta, mengingat betapa kami
seperti saudara sekandung. Kakang Lembu Tirta tentu akan rela melihat bekas
istrinya menjadi kekasihku yang tercinta..”
“Bohong!
Ayah tidak rela karena engkau telah membunuhnya!” Tiba-tiba Sutejo
berteriak dan panewu itu sampai
terloncat dari tempat duduknya mendengar ini. Lengannya yang panjang bergerak
dan tangan kanannya sudah mencengkeram pundak Sutejo dan ditariknya anak itu ke
dekatnya.
“Apa
kau bilang?” bentaknya.
“Panewu
Progodigdoyo..jangan kau ganggu anakku.!” Janda Galuhsari menjerit sambil
menubruk maju, memegang lengan puteranya dan menariknya. Terjadi tarik menarik
sebentar, kemudian tiba-tiba Progodigdoyo melepaskan cengkeramannya sehingga
tubuh anak itu terlepas dan Galuhsari hampir jatuh, terhuyung ke belakang
sambil memeluk Sutejo dan terjatuh duduk di atas pembaringan dipeluk oleh
Lestari yang menangis. Akan tetapi Sutejo tidak menangis, hanya memandang
panewu itu dengan mata terbelakak penuh kebencian.
Panewu
Progodigdoyo menantap wajah janda itu dengan mata mendelik dan sinar mata penuh
selidik, kemudian dia berkata, suaranya lirih akan tetapi mengandung
ancaman
mengerikan,
"Galuhsari,
jadi selama ini engkau tahu..." Janda itu mengangguk.
“Sebelum
meninggalkan dunia karena kecuranganmu, dia masih kuat merangkak
pulang..." lalu ia terisak.
Progodigdoyo
kelihatan terkejut dan juga tidak enak hati, akan tetapi rasa malu karena
kecurangannya itu bukan membuat dia mundur, bahkan membuat hatinya yang sudah
dibikin keruh oleh nafsu itu semakin nekat.
“Kalau
begitu, ketahuilah bahwa apa yang kulakukan dahulu itu adalah demi cintaku
kepadamu, Galuhsari! Maka, mau tak mau engkau menjadi milikku.“
“Keparat
hina!“ Sutejo tiba-tiba memaki dan seperti seekor harimau kecil anak ini menerjang ke depan, kepalan tangannya yang
kecil itu memukul ke arah perut panewu
itu. Tentu saja sang panewu dengan amat mudahnya menangkap kedua tangan
Sutejo yang meronta-ronta dengan
sia-sia.
“Progodigdoyo,
lepaskan anakku dan pergilah! Kalau tidak, aku akan menjerit” “Menyerahkan,
seluruh penduduk dusun Kembangsari sudah dikepung oleh pasukanku, siapa yang
akan berani melawan dan memberontak?“
“Kembalikan
anakku!“
Akan
tetapi Progodigdoyo yang kini maklum bahwa rahasianya membunuh Lembu Tirta
sudah ketahuan dan bahwa putera dari Lembu Tirta ini kalau dibiarkan hidup
kelak hanya akan membikin repot saja, lalu memanggil pembantunya,
“Klabang
Curing ke sinilah!“
Dari
luar pintu berkelebat bayangan orang dan tampaklah seorang laki-laki berusia
tiga puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan begitu masuk, dia mengerling
ke arah janda cantik itu dan anak daranya sambil tersenyum-senyum.
“Bawa
anak ini ke dalam hutan dan...“ Progodigdoyo memberi isyarat dan hanya Klabang
Curing saja yang maklum bahwa dia disuruh membunuh anak laki-laki itu di dalam
hutan, atau jelasnya, anak itu harus dibunuh tanpa diketahui ibunya.
“Baik,
kakang Panewu,“ katanya sambil tertawa dan suara ketawannya makin keras ketika
Sutejo berusaha meronta-ronta dan melepaskan diri ketika kedua lengannya
dipegang oleh orang tinggi kurus itu dan tubuhnya diseret keluar.
“Kembalinya
anakku!“ Jerit janda Galuhsari sambil menangis.
Dari
luar Sutejo yang masih meronta-ronta itu dapat mendengar semua suara di dalam
bilik, karena Klabang Curing sambil tersenyum-senyum menyeringai agaknya ingin
pula mendengarkan maka dia belum meninggalkan tempat itu.
Sutejo
mendengar ibunya menangis, juga tangis kakaknya, Lestari.
“Kau
bunuh saja aku, akan tetapi kembalikan anakku…..“ Ibunya meratap.
“Ha-ha,
anakmu itu tidak apa-apa, dan anakmu yang manis itu pun tidak akan diganggu
kalau kau menyerahkan diri dengan baik-baik kepadaku, Galuhsari. Ke sinilah,
manis, sudah tiba saatnya kau menghentikan sikap bermusuh itu padaku. Aku cinta
padamu dan sudah delapan tahun aku menahan rinduku kepadamu.“
“Tidak……,tidak…..!“
Hening
sejenak, kemudian Sutejo menengar jerit kakaknya. Lestari menjerit dan disusul
lengking ibunya.
“Progodigdoyo….apa….apa
yang hendak kau lakukan?“ terdengar ibunya memekik di antara tangisnya.
“Kalau
kau berkeras tidak mau, kau lihatlah betapa aku memaksa anakmu menggantikan
engkau melayani aku…..“
“Jangan…..ahhh…..lebih
baik kau bunuh aku…..kau boleh siksa aku…..akan tetapi jangan kau ganggu
Lestari…..“ Ibunya meratap dan Sutejo meronta-ronta dan berteriak-teriak.
Klabang
Curing yang takut kalau-kalau ketahuan oleh atasannya bahwa dia pun ikut
mendengarkan dengan asyik, cepat mendekap mulut anak itu sehingga Sutejo
meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari jari-jari tangan
yang kuat itu.
“Nah,
bagaimana?“ terdengar Progodigdoyo mengancam.
“Anakmu,
atau engkau yang menyerah dengan suka rela?“
Sutejo
mendengar ibunya merintih,
“…..sesukamulah…..asal
kau jangan menggangu anakku…..“ Selanjutnya ia mendengar suara Progodigdoyo
tertawa girang dan mendengar rintihan ibunya yang menahan tangis, diselingi
tangis dan isak Lestari yang terdengar penuh perasaan takut dan ngeri.
“Heh-heh,
hebat memang kakang Progodigdoyo…..“ Klabang Curing tertawa lalu menyeret tubuh
Sutejo dari tempat itu, meniggalkan rumahnya dan dusun Kembangsari, terus
menyeret tubuh anak itu ke arah hutan yang gelap.
Sutejo
berhenti meronta dan Klabang Curing melepaskan lengan kanan anak itu, hanya
memegangi tangan kirinya sambil terus menarik.
“Paman…..aku
hendak dibawa ke manakah?“ Sutejo bertanya, suaranya penuh rasa penasaran, akan
tetapi sedikit pun dia tidak merasa takut, dan diam-diam tangan kanannya
meraba-raba ke pinggangnya. Di situ terselip sebatang keris yang tadi dibawanya
ketika ibunya berkemas, Keris itu adalah keris peninggalan ayahnya, sebatang
keris yang bernama Nogopusoro, keris pusaka yang selama berada di
tangan
mendiang Senopati Lembu Tirta telah minum darah entah berapa banyak lawan
sehingga selain beracun, juga keris itu mempunyai wibawa menyeramkan.
“Hendak
dibawa ke mana? Ha-ha-ha, ke mana lagi kalau tidak ke neraka?“ Klabang Curing
terbahak.
“Salahnya
ibumu yang tidak tahu bahwa sang panewu tergila-gila kepadanya….,ha-ha-ha!“
Klabang Curing tertawa sambil mengangkat mukanya ke atas sehingga tidak tahulah
dia betapa anak kecil itu telah mencabut keris Nogopusoro yang sudah berkarat
oleh darah lawan.
“Cepp….!Aughhhh…..!“
Klabang Curing adalah seorang panglima yang memiliki kedigdayaan, biar pun
lambungnya tertusuk keris karena dia tadi sama sekali tidak menduganya, namun dia
dapat sempat mengerahkan tenaga kekebalannya sehingga keris itu tidak masuk
lebih dalam lagi. Apa pula karena tenaga Sutejo memang tidak besar. Sambil
mengerahkan tenaga ke lambungnya, Klabang Curing memaki,
“Anak
setan!“ dan kakinya menendang.
“Dessss….!“
Keris itu tercabut dari lambungnya ketika tubuh anak kecil itu mencelat sampai
beberapa tombak jauhnya.
“Setan
cilik, kupatahkan batang lehermu ….. ahhhh!“ Klabang Curing yang meloncat
hendak menubruk anak itu roboh terguling dan pingsan karena keampuhan keris
Nogopusoro yang telah melukai lambungnya tadi.
Sutejo
yang masih memegang keris di tangan, merasa kepalanya pening ketika dia
terbanting jatuh, akan tetapi melihat musuhnya roboh, dia cepat menyimpan keris
ayahnya dan bangkit berdiri, lalu berlari kembali menuju ke dusun Kembangsari
sambil
membayangkan malapetaka yang mengancam ibunya dan kakaknya.
“Ibuuuu…..!“
Dia menjerit dan berlari terus dalam kegelapan malam.
Masih
hidupkah ibunya dan kakaknya? Sudah terlalu lama dia diseret oleh Klabang Curing
tadi, hampir satu jam lamanya. Akan terlambatkah dia?
Dengan
berindap-indap dan menyusup-nyusup karena melihat ada beberapa orang penunggang
kuda menjaga di sekeliling rumah dan dusun, dia akhirnya berhasil memasuki
rumah ibunya dari pintu belakang. Segera dia menyelinap mendekati kamar ibunya
dan mengintai, tidak berani masuk secara sembrono karena dia mendengar suara di
dalam. Dilihatnya ibunya berdiri di dekat pembaringan, rambutnya yang
hitam panjang sampai ke pinggul itu
terurai lepas dan hanya mengenakan tapih pinjung (kain yang dililitkan ke tubuh
sampai ke dada), memandang kepada Panewu Progodigdoyo yang tersenyum-senyum
sambil mengenakan lagi jubahnya.
“Progodigdoyo!“
ibunya membentak dan tangan kirinya memeluk Lestari yang
menangis
dengan muka pucat dan menyembunyikan mukanya ke dada ibunya “Engkau tadi
berjanji tidak akan mengganggu anakku kalau aku mau menyerahkan diri kepadamu.
Akan tetapi…..apa yang kau katakan tadi? Kau tidak boleh membawa Lestari…..!“
“Ha-ha-ha,
Galuhsari, aku salah sangka tentang dirimu. Aku kecewa…..ternyata engkau sudah
terlalu tua. Maka biarlah aku tidak jadi membawamu, dan sebagai gantinya anakmu
ini akan kupersunting menjadi selirku. Dia cantik seperti engkau,
akan
tetapi dia masih muda dan segar, sedangkan engkau…..sayang, kau terlalu tua…..“
“Jahanam
busuk!“ Janda itu memaki dengan jerit melengking saking marahnya. Dia telah
mengalami penghinaan besar, menyeraahkan diri dan diperkosa di depan puterinya
sendiri, hal yang dilakukan dengan hati berdarah demi keselamatan puterinya.
Akan tetapi yang didapatkannya sebagai imbalan pengorbanan hebat ini hanya
penghinaan yang menyakitkan hati, dan puterinya tetap saja akan dibawa oleh
musuh besar itu.
“Hemmm,
perempuan tua, jangan banyak lagak engkau. Lebih baik kau serahkan anakmu itu
menjadi selirku dan engkau boleh menjadi pelayan di rumahku, kalau engkau masih
ingin selamat. Siapa tidak tahu bahwa engkau hendak melarikan diri, hendak
memberontak terhadap Tuban?“
Kemarahan
Galusari mencapai puncaknya.
“Manusia
berhati iblis…..!” Dia memaki dan menyambar lampu di atas meja lalu dilemparnya
lampu itu ke arah Progodigdoyo.
“Ehhh…..!“
Lampu itu pecah berantakan menghantam dinding bambu bilik itu dan api yang
disiram minyak menjilat dan membakar dinding bambu.
“Perempuan
busuk!“ Progodigdoyo meloncat ke depan, tangan kirinya menampar dan tangan
kananya menyambar Lestari. Galuhsari terpekik dan terlempar ke samping,
sedangkan Lestari yang dapat dipondong oleh Progodigdoyo menjerit. Akan tetapi
Progodigdoyo meloncat ake pintu kamar hendak pergi dari kamar yang mulai
terbakar itu.
“Progodigdoyo
manusia keparat!“ Tiba-tiba terdengar bentakan Sutejo yang menyerbu dari luar
pintu kamar denagn keris terhunus.
Progodigdoyo
terbelalak.
“Kau…..??“
Dia
merasa heran sekali melihat anak ini karena bukankah anak ini sudah disuruhnya
bunuh oleh Klabang Curing? Mengapa bisa muncul di sini? Bulu tengkuknya
meremang karena dia menduga bahwa yang muncul ini tentu arwah atau setan dari
anak itu.
“Dessss….!!“
Galuhsari mengeluh lemah, tubuhnya terlempar masuk kembali ke dalam bilik yang
sedang terbakar, terbanting keras dan pingsan! Progodigdoyo yang
masih
memondong tubuh Lestari yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, hanya menoleh
satu kali melihat betapa api mulai menjilat dan membakar rambut panjang dan
kain yang hampir terlepas itu, kemudian meloncat ke luar.
“Ibu…..Tejo…..!“
Progodigdoyo
memukul perlahan tengkuk Lestari dan dara remaja itu roboh lemas di dalam
pondongannya, tak sadarkan diri. Tak lama kemudian yang terdengar bergema di
dalam dusun Kembangsri yang menjadi sunyi senyap itu hanya ringkik kuda dan
derap kaki kuda meninggalkan dusun itu, dan suara ini pun lenyap, terganti oleh
suara api yang mengamuk dan melahap rumah bekas tempat tinggal janda Galuhsari.
Baru
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah api sudah kenyang dan
menghabiskan rumah dan seluruh isinya, para tetangga berani mendekati tempat
itu. Wajah mereka tegang karena semalam mereka mendengar bahwa pasukan dari
Tuban datang untuk membikin pembersihan dan dikabarkan bahwa keluarga mendiang
Lembu Tirta dicurigai dan diperiksa. Kemudian mereka mendengar jerit-jerit itu
dan disusul suara api membakar rumah. Karena ketakutan mereka tidak berani
keluar, dan baru pagi hari berikutnya mereka berani keluar memenuhi halaman
rumah yang sudah menjadi puing itu dan menemukan kerangka yang sudah hangus dan
sebagian menjadi abu. Itulah kerangka janda Galuhsari yang segera mereka rawat
dan melarungkannya (menghanyutkan) ke air Sungai Ambakberas. Anehnya, tidak ada
bekas kerangka Sutejo, sedangkan mereka semua tahu bahwa Lestari telah ditawan
dan dibawa ke Tuban, karena ketika pasukan itu meninggalkan dusun, ada penduduk
yang sempat mengintai dengan tubuh mengigil dan melihat dara itu dalam
pondongan Panewu Progodigdoyo.
Seperti
biasanya terjadi di dalam jaman apa pun dan di mana pun, peraturan dan hukum
hanya diterapkan untuk mengendalikan rakyat kecil belaka, sedangkan orang-orang
besar biasanya atau sebagian besar adalah kebal terhadap hukum. Andaikata
peristiwa
pembunuhan, pembakaran rumah dan penculikan gadis itu dilakukan oleh rakyat
biasa, tentu hukum akan mengejarnya sampai dia ditangkap dan dihukum sesuai
dengan kejahatannya. Akan tetapi, kalau pembesar yang berkuasa melakukan
sesuatu, biasanya peristiwa itu lewat begitu saja, karena pemegang hukum adalah
para
pembesar belaka. Rakyat hanya bisa merasa penasaran akan tetapi lambat laun
peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati itu terlupa juga. Demikian pula
dengan peristiwa di dusun Kembangsari ini. Karena tahu bahwa yang melakukan
pembakaran dan pembasmian atas keluarga mendiang Perwira Lembu Tirta adalah
pasukan Tuban yang dipimpin oleh Panewu Progodigdoyo, maka siapakah yang akan
berani membuat ribut? Orang yang paling berkuasa di dusun itu hanyalah
berpangkat lurah biasa, apa dayanya terhadap seorang senopati dari Kadipaten
Tuban, tangan kanan Gusti Adipati Ronggo Lawe sendiri? Maka semua orang hanya
bisa saling pandang, menggeleng-geleng kepala dan merasa kasian kepada nasib
janda Galuhsari sekeluarga, akan tetapi tak berani membuka mulut karena mereka
maklum bahwa ribut-ribut mempersoalkan peristiwa itu berarti mengundang
malapetaka yang mungkin lebih mengerikan daripada peristiwa itu sendiri.
Apa
yang diceritakan oleh janda Galuhsari sebelum dia tewas dalam keadaan
mengerikan itu kepada anak-anaknya tentang pemberontakan Tuban memang benar.
Api pemberontakan itu mulai menyala akibat rasa iri hati yang bergolak di dalam
dada Sang Adipati Rongo Lawe.
Seperti
dituturkan dalam Serat Panji Wijayakrama, Ronggo Lawe adalah putera dari Bupati
Sumenep yang bernama banyak Wide, atau Aryo Wirorojo dan kemudian berganti nama
menjadi Aryo Adikoro. Ayah dan anak ini merupakan senopati-senopati Mojopahit
yang telah banyak berjasa, terutama terhadap Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana
semenjak sang prabu belum menjadi raja dan masih bernama Raden Wijaya. Mereka
itu merupakan ponggawa-ponggawa yang setia di samping tokoh-tokoh Mojopahit
lainnya, terutama sekali Senopati Lembu Sora atau Ken Sora yang berpangkat
demang, adik dari Aryo Wirorojo atau paman dari Ronggo Lawe, Kebo Anabrang,
Raden Nambi dan yang lain-lain.
Setelah
Raden Wijaya berhasil menjadi Raja Mojopahit pertama bergelar Kertarajasa
Jayawardhana, beliau tidak melupakan jasa-jasa para senopati (perwira) yang
setia dan banyak membantunya semenjak dahulu itu membagi-bagikan pangkat kepada
mereka. Ronggo Lawe diangkat menjadi adipati di Tuban dan yang lain-lain pun
diberi pangkat pula. Dan hubungan antara junjungan ini dengan para pembantunya,
sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya menjadi raja, amatlah erat dan
baik.
Akan
tetapi guncangan pertama yang mempengaruhi hubungan ini adalah ketika sang
prabu telah menikah dengan empat puteri mendiang Raja Kertanegara, telah
menikah lagi dengan seorang puteri dari Melayu. Sebelum puteri dari tanah
Malayu ini menjadi isterinya yang kelima, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana
telah mengawini semua puteri mendiang
Raja Kertanegara. Hal ini dilakukannya karena beliau tidak menghendaki adanya Kertanegara itu semua
menjadi isterinya sehingga tidak akan
timbul dendam dan perebutan kekuasaan kelak. Keempat orang puteri itu
adalah Dyah Tribunan yang menjadi permaisuri, yang kedua
adalah Dyah Nara Indraduhita, ketiga
adalah Dyah Jaya Inderadewi, dan yang juga disebut Retno Sutawan atau Rajapatni yang berarti “terkasih“ karena
memang puteri bangsu dari mendiang
Kertanegara ini menjadi isteri yang paling dikasihinya. Dyah Gayatri
yang
bungsu ini memang cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan, terkenal di
seluruh negeri dan kecantikannya dipuja-puja oleh para sasterawan di masa itu.
Akan
tetapi, datanglah pasukan yang beberapa tahun lalu diutus oleh mendiang
Sang
Prabu Kertanegara ke negeri Malayu. Pasukan ini dinamakan pasukan Pamalayu yang
dipimpin oleh seorang senopati perkasa bernama Kebo Anabrang atau juga Mahisa
Anabrang, nama yang diberikan oleh sang prabu mengingat akan tugasnya
menyeberang (anabrang) ke negeri Malayu. Pasukan ekspedisi yang berhasil baik
ini membawa pulang pula dua orang puteri bersaudara. Puteri yang ke dua, yaitu
yang muda, bernama Dara Petak dan Sang Prabu Kertarajasa terpikat hatinya oleh
kecantikan sang puteri ini, maka diambillah Dyah Dara Petak menjadi isterinya
yang ke lima. Segera ternyata bahwa Dara Petak menjadi saingan yang paling kuat
dari Dyah Gayatri, karena Dara Petak memang cantik jelita dan pandai membawa
diri. Sang Prabu sangat mencintai isteri termuda ini yang setelah diperisteri
oleh sang baginda, lalu diberi nama Sri Indreswari. Terjadilah persaingan di
antara para isteri ini, yang tentu saja dilakukan secara diam-diam namun cukup
seru, persaingan dalam memperebutkan cinta kasih dan perhatian sri baginda yang
tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan masing-masing. Kalau sang
prabu sendiri kurang menyadari akan persaingan ini, pengaruh persaingan itu terasa benar oleh
para senopati dan mulailah terjadi perpecahan diam-diam di antara mereka
sebagai pihak yang bercondong kepada Dyah Gayatri keturunan mendiang Sang Prabu
Kertanegara, dan kepada Dara Petak keturunan Malayu. Tentu saja Ronggo Lawe,
sebagai seorang yang amat setia sejak jaman Prabu Kertanegara, berpihak kepada
Dyah Gayatri. Namun, karena segan kepada Sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana,
persaingan dan kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu tidak sampai menjalar
menjadi permusuhan terbuka.
Kiranya
tidak ada terjadi hal-hal yang lebih hebat sebagai akibat masuknya Dara Petak
ke dalam kehidupan sang prabu, sekiranya tidak terjadi hal yang membakar
hati
Ronggo Lawe, yaitu pengangkatan patih hamangku bumi, yaitu Patih Kerajaan
Majopahit. Yang diangkat oleh sang prabu menjadi pembesar yang tertinggi dan
paling berkuasa sesudah raja sendiri itu adalah Senopati Nambi. Pengangkatan
ini memang banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Petak.
Mendengar
akan pengangkatan patih ini, merahlah muka Adipati Ronggo Lawe. Ketika
mendengar berita ini dia sedang makan, seperti biasa dilayani oleh kedua orang
isterinya yang setia, yaitu Dewi Mertorogo dan Tirtowati. Mendengar berita itu
dari seorang penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang
makan, Ronggo Lawe merah bukan main. Nasi yang sudah dikepalnya itu dibanting
ke atas lantai dan karena dalam kemarahan tadi sang adipati menggunakan aji
kedigdayaannya, maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai! Kemudian
terdengar bunyi berkerotok dan ujung meja diremasnya menjadi hancur!
"Kakangmas
adipati...harap paduka tenang..." Dewi Mertorogo menghibur suaminya.
“Ingatlah,
kakangmas adipati...sungguh merupakan hal yang kurang baik mengembalikan berkah
ibu pertiwi secara itu...“ Tirtowati juga memperingatkan karena melempar nasi
ke atas lantai seperti itu penghinaan terhadap Dewi Sri dan dapat menjadi
kualat.
Akan
tetapi Adipati Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya
dicuci oleh kedua orang isterinya yang
berusaha menghiburnya.
“Aku
harus pergi sekarang juga!“ katanya.
“Pengawal
lekas suruh persiapkan si Mego Lamat di depan! Aku akan
berangkat ke Mojopahit sekarang juga!“
Mego
Lamat adalah satu di antara kuda-kuda kesayangan Adipati Ronggo Lawe,
seekor
kuda yang amat indah dan kuat, warna bulunya abu-abu muda. Semua cegahan kedua
istrinya sama sekali tidak didengarkan oleh adipati yang sedang marah itu.
Tak
lama kemudian, hanya suara derap kaki Mego Lamat yang berlari congkalang yang
memecah kesunyian gedung kadipaten itu, mengiris perasaan dua orang isteri
yang
mencinta dan mengkhawatirkan keselamatan suami mereka yang marah-marah itu.
Pada
waktu itu, sang prabu sedang dihadap oleh para senopati dan ponggawa. Semua
penghadap adalah bekas kawan-kawan seperjuangan Ronggo Lawe dan mereka ini
terkejut sekali ketika melihat Ronggo Lawe datang menghadap raja tanpa
dipanggil, padahal sudah agak lama Adipati Tuban ini tidak datang menghadap sri
baginda.
Sang
prabu sendiri juga memandang dengan alis berkerut tanda tidak berkenan hatinya,
namun karena Ronggo Lawe pernah menjadi tulang punggungnya di waktu beliau
masih berjuang dahulu, sang prabu mengusir ketidak senangan hatinya dan segera
menyapa Ronggo Lawe.
Di
dalam kemarahan dan kekecewaan, Adipati Ronggo Lawe masih ingat untuk
menghaturkan sembahnya, akan tetapi setelah semua salam tata susila ini
selesai, serta merta Ronggo Lawe menyembah dan berkata dengan suara lantang,
“Hamba
sengaja datang menghadap paduka untuk mengingatkan paduka dari kekhilafan yang
paduka lakukan di luar kesadaran paduka!“
Semua
muka para penghadap raja menjadi pucat mendengar ucapan ini, dan semua jantung
di dalam dada berdebar tegang. Mereka semua mengenal belaka sifat dan watak
Ronggo Lawe, banteng Mojopahit yang gagah perkasa dan selalu terbuka, polos dan
jujur, tanpa tedeng aling-aling lagi dalam mengemukakan suara hatinya, tidak
akan mundur setapak pun dalam membela hal yang dianggap benar.
Sang
Prabu sendiri memandang dengan mata penuh perhatian, kemudian dengan suara
tenang bertanya,
“Kakang
Ronggo Lawe, apakah maksudmu dengan ucapan itu?“
“Yang
hamba maksudkan tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai pepatih paduka!
Keputusan yang paduka ambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana
dan hamba yakin bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi oleh suara
dari belakang! Pengangkatan Nambi sebagai patih hamangku bumi sungguh merupaan
kekeliruan yang besar sekali, tidak tepat dan tidak adil, padahal
paduka
terkenal sebagai seorang Maha Raja yang arif bijaksana dan adil!“
Hebat
bukan main ucapan Ronggo Lawe ini! Seorang adipati, tanpa dipanggil, berani
datang menghadap sang Prabu dan melontarkan teguran-teguran seperti itu! Muka
Patih Nambi sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya dikepal dan dibuka
dengan jari-jari gemetar. Senopati Kebo Anabrang mukanya menjadi merah seperti
udang direbus, matanya yang lebar itu seperti mengeluarkan api ketika dia
mengerling ke arah Ronggo Lawe. Lembu Sora yang sudah tua itu menjadi pucat
mukanya, tak mengira dia bahwa keponakannya itu akan seberani itu.
Senopati-senopati Gagak Sarkoro dan Mayang Mekar juga memandang dengan mata
terbelalak. Pendeknya, semua senopati dan pembesar yang saat itu menghadap sang
prabu dan mendengar ucapan-ucapan Ronggo Lawe, semua terkejut dan sebagian
besar marah sekali, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri karena mereka
menghormat sang prabu.
Akan
tetapi Sang Prabu Kertarajasa tetap tenang, bahkan tersenyum memandang kepada
Ronggo Lawe, ponggawanya yang dia tahu amat setia kepadanya itu, lalu berkata
halus,
“Kakang
Ronggo Lawe, tindakanku mengangkat kakang Nambi sebagai patih hamangku bumi,
bukanlah merupakan tindakan ngawur belaka, melainkan telah merupakan suatu
keputusan yang telah dipertimbangkan masak-masak, bahkan telah mendapatkan
persetujuan dari semua paman dan kakang senopati dan semua
pembantuku.
Bagaimana kakang Ronggo Lawe dapat mengatakan bahwa pegangkatan itu tidak tepat
dan tidak adil?“
Dengan
muka merah, kumisnya yang seperti kumis Sang Gatotkaca itu bergetar, napas
memburu karena desakan amarah, Ronggo Lawe berkata lantang,
“Tentu
saja tidak tepat! Paduka sendiri tahu siapa si Nambi itu! Paduka tentu masih
ingat akan segala sepak terjang dan tindak-randuknya dahulu! Dia seorang bodoh,
lemah, rendah budi, penakut, sama sekali tidak memiliki wibawa...“
“Kakang
Ronggo Lawe, tentu engkau tahu pula bahwa kakang Nambi adalah seorang ahli
siasat dan ketatanegaraan.“ Sang Prabu memotong.
“Memang
tukang siasat dia, tukang akal-akalan, akal bulus yang kotor dan busuk. Negara
akan celaka kalau patihnya seperti dia yang penuh kelicikan. Dan hamba katakan
bahwa pengangkatan ini tidak adil, karena apakah Mojopahit kekurangan
orang-orang yang sudah jelas setia dengan jiwa raganya, yang sudah mendarma
baktikan seluruh kehidupannya untuk paduka, yang sudah berjasa besar dalam
setiap peperangan?“
“Hemmm...aku
mengangkat patih berdasarkan kecakapannya untuk jabatan itu, kakang Ronggo
Lawe.““Harap paduka mengampuni hamba. Akan tetapi, apabila paduka membutuhkan
seorang patih hamangku bumi, seorang pembantu yang boleh diandalkan mengapa
paduka mengangkat Nambi? Apakah Paman Lembu Sora kurang cakap? Seandainya
paduka menganggap Paman Lembu Sora terlalu tua atau tidak memenuhi syarat,
bukankah masih ada hamba? Mengapa justruh si Nambi yang picik itu yang
diangkat?“
“Ronggo
Lawe, engkau orang kasar yang sudah menjadi gila oleh iri hati!“ Tiba-tiba
Nambi tidak dapat menahan dirinya lagi karena telah dihina berkali-kali di
depan banyak orang. Kalau tadi dia diam saja adalah karena dia tidak berani
ribut-ribut
di
hadapan sang prabu.
“Iri
hati katamu? Bukan iri hati, melainkan ingin menegakkan Mojopahit karena kalau
engkau yang menjadi patih, kedudukan Mojopahit pasti akan merosot, nama besar
dan keagungan sang prabu akan terseret turun oleh kepicikanmu! Siapa yang tidak
tahu bahwa Paman Lembu Sora dan aku, ya aku si Rongga Lawe, telah menyerahkan
seluruh jiwa raga untuk keagungan sang prabu dan Mojopahit? Kalau tidak ada
kami berdua di waktu sang prabu menghadapi tentara Tar-tar, apakah Mojopahit
akan dapat terbangun? Jasa Paman lembu Sora ini tidak diperhatikan, dan
dikalahkan oleh orang macam engkau!“
Suasana
menjadi panas sekali dan kalau tidak ada sang prabu di situ, tentu telah
terjadi pertempuran! Sang Prabu memandang dengan penuh kekhawatiran karena
kalau sampai terjadi pertarungan antara pembantunya yang setia di depannya,
maka selain hal itu amat memalukan, juga akan melemahkan kedudukannya. Maka
dengan berbagai usaha dia mencoba untuk meredakan kemarahan Ronggo Lawe, akan
tetapi Adipati Tuban ini tetap merajuk dan dengan suara lantang dia berkata.
“Hamba
tahu bahwa hamba telah melakukan dosa di hadapan paduka dengan sikap hamba ini.
Akan tetapi, sikap hamba ini adalah wajar dan kalau hamba akan dijatuhi
hukuman, hamba akan menerimanya! Siapa tidak akan meradang melihat betapa si
pengecut licik, si penakut Nambi malah memperoleh kedudukan yang paling tinggi!
Dan hamba serta Paman Lembu Sora dan para kawan lainnya harus tunduk dan
menyembahnya! Keparat Nambi, entah dengan rayuan apa engkau dapat membujuk sang
prabu. Kalau engkau hendak menyangkal semua kata-kataku, hayo keluar, pilihlah
tempat yang kau sukai, waktu yang kau sukai, setiap saat, kapan saja, di mana
saja, Ronggo Lawe siap untuk menghadapimu, menyelasaikan hal ini dengan taruhan
nyawa sebagai ksatria! Tidak macam engkau yang hanya pandai bersilat lidah!“
Makin
panaslah suasana di situ. Pendeta Brahmana yang diberi isyarat oleh sri
baginda, lalu mendekati Ronggo Lawe dan berkata dengan suara halus dan tenang,
“Anakmas
Adipati Ronggo Lawe, harap suka tenang dan mendinginkan hati dan pikiran, ingatlah
baik-baik apakah sikap seperti ini di hadapan sri baginda merupakan sikap yang
benar? Dan apakah akibatnya yang akan menimpa para keluarga anakmas dengan
sikap seperti ini?“
Para
senopati dan pembesar yang hadir membenarkan dan mendukung kata-kata pendeta
ini, akan tetapi sia-sia saja karena Ronggo Lawe tetap saja marah-marah dan
menantang-nantang Nambi untuk keluar dan menghadapinya sebagai ksatria.
Kebo
Anabrang, senopati perkasa yang pemarah, tidak lagi dapat menahan dirinya,
menuding telunjuknya kepada Ronggo Lawe dan membentak,
“Lawe,
manusia kurang ajar kau! Kalau memang kau jantan, mengapa menantang-nantang di
hadapan sang prabu? Keluarlah dan siapkan segala senjata dan kedigdayaanmu di
alun-alun!“
Ronggo
Lawe menepuk dadanya.
“Babo-babo,
aku akan menghadapi semua penjilat dan penghianat!“ Adipati Tuban ini meloncat
ke luar dan tanpa pamit dia meninggalkan ruang permusyawaratan itu. Dengan mata
berapi-api dan muka merah Ronggo Lawe menuju ke alun-alun, menanggalkan
bajunya, bertelanjang dada dan sambil meletakkan tangan di atas dahan kayu
pohon, dia menanti keluarnya Nambi dan siapa saja yang berani melawannya!
Setelah agak lama tidak ada yang keluar, kemarahannya menjadi-jadi dan mulailah
Ronggo Lawe merusak tanaman dan merobohkan bangunan di depan istana.
Jembangan-jembangan besar dan berat diangkatnya dan dibanting hancur
berkeping-keping. Memang hebat tenaga senopati ini, dadanya yang telanjang itu
berkilauan karena keringat, bidang dan tegap penuh dengan otot-otot yang
menggembung dan kuat, seperti banteng. Matanya yang tajam itu bersinar-sinar
dan tiada hentinya dia menantang mencelakakan Mojopahit dengan lidah beracun
mereka! Para pengawal dan penjaga di sekitar alun-alun tidak ada yang berani
bergerak, hanya memandang dengan muka pucat dan seorang perwira penjaga cepat
melapor ke dalam istana.
Sementara
itu, suasana di ruangan balai pertemuan amat sunyi setelah Ronggo Lawe pergi.
Semua orang terdiam, menunduk di hadapan Raja Kertarajasa yang berulang kali
menghela napas. Kemudian terdengar sang prabu berkata dengan jelas
mengandung
kedukaan hati,
“Paman
Demang Lembu Sora, bagaimana pendapat paman dengan adanya peristiwa ini? Apakah
sebaiknya Nambi kuturunkan kedudukannya sebagai patih dan mengangkat Lawe
menjadi patih hamangku bumi, paman?“
Lembu
Sora cepat menyembah.
“Hendaknya
paduka tidak melakukan hal itu karena bagaimana mungkin paduka menyerah
junjungan hamba semua akan menyerah saja kepada kehendak Ronggo Lawe? Hal itu
hanya akan merendahkan kedudukan paduka, karena hendaknya paduka ingat akan
ketentuan bahwa segala sabda yang dikeluarkan oleh raja tidak dapat tidak harus
dilaksanakan. Paduka sudah mengangkat anakmas Nambi sebagai patih, tidak
mungkin kalau sabda paduka itu digagalkan hanya oleh ulah tingkah Ronggo Lawe.“
Biar
pun Ronggo Lawe adalah keponakannya sendiri, namun Lembu Sora yang bijaksana
tidak setuju akan sikap yang diperlihatkan Ronggo Lawe tadi, maka tentu saja
dia pun tidak mau mebela keponakannya yang dianggapnya telah keliru dan salah.
Tiba-tiba
seorang perwira penjaga datang menghadap dengan sembahnya, dilanjutkan dengan
laporan yang diucapkan dengan suara gugup,
“Ampunkan
hamba... hamba melaporkan bahwa...Adipati Tuban mengamuk di alun-alun, merusak
tanaman-tanaman dan merobohkan bangunan di depan istana..., tanaman dicabuti,
jembangan dibanting dan dihancurkan...“
Komentar
Posting Komentar